Tidak Sembahyang Apa Gunanya
Menjelang magrib, jalanan di depan pintu keluar stasiun terlihat tersendat. Walaupun pintu keluar stasiun Lenteng Agung sudah dipagari untuk mencegah penumpang menyebrang sembarangan, tetap saja jalanan macet karena angkot yang mencari penumpang mengetem persis di sebelah jembatan penyebrangan. Suara klakson dari kendaraan-kendaraan yang tersendat membahana menghardik angkot yang sedang ngetem. Ketika saya menginjakkan kaki turun dari jembatan penyebrangan, seorang pemuda lusuh dengan gitar di tangan ikut mengarahkan saya menaiki angkot nomor 129. Di dalam angkot sudah ada beberapa orang penumpang, semuanya perempuan. Tiga orang sepertinya baru pulang kerja dan dua orang lagi masih remaja, mungkin baru pulang sekolah.
Tidak terlalu lama setelah saya naik, angkot mulai jalan, sepertinya sang supir sudah puas dengan jumlah penumpangnya. Sang pemuda dengan gitar yang sebelumnya mengarahkan saya untuk naik angkot ternyata ikut naik. Ia duduk di kursi kecil tambahan di pintu keluar angkot dan mempersiapkan gitarnya. Sejenak kemudian dia mengucapkan salam dan meminta maaf bila kehadiran dan suaranya mengganggu.
Dia lalu menyanyi:
"Sepotong kayu daunnya rimbun, lebat bunganya serta buahnya, walaupun hidup seribu tahun, bila tak sembahyang apa gunanya, walaupun hidup seribu tahun, bila tak sembahyang apa gunanya."
Ulala. Seribu tahun. Siapa yang bisa hidup seribu tahun. Kenyataannya, sudah sangat jarang manusia hidup sampai seratus tahun. Di pagi hari, saya baru saja mengantarkan jenazah mendiang ibu pimpinan saya di kantor ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Sebelum jenazah dimasukan ke liang lahat, seorang tetua menyampaikan nasihat-nasihat untuk para pengantar. Nasihat yang sebenarnya hanya mempertegas nasihat yang paling ampuh, kematian. Yang saya ingat hanyalah pertanyaan, "Apa yang kita lakukan setelah pulang dari sini?"
Sang pengamen terus melantunkan lagunya sampai di lirik,
"Kami sembahyang limalah waktu, siang dan malam sudahlah tentu, hidup di kubur yatim piatu, tinggalah seorang dipukul palu."
"Dipukul dipalu sehari-hari, barulah ia sadarkan diri, hidup di dunia tiada berarti, akhirat di sana sangatlah rugi."
Horor. Lagu yang kurang pas buat ngamen. Tapi sungguh nasihat yang baik jika didengarkan. Janganlah sampai diri menyesal, hidup di dunia hanya sebentar. Ketika sudah berada di liang lahat tentu banyak yang meminta untuk dikembalikan ke dunia dan berjanji untuk beramal saleh. Tapi sayangnya, itu hanya angan-angan saja. Mumpung masih hidup, apa yang kita tunggu?
Sang pengamen sudah turun, tapi nyanyiannya yang tidak begitu merdu itu terus terngiang. "Walaupun hidup seribu tahun, bila tak sembahyang apa gunanya, walaupun hidup seribu tahun, bila tak sembahyang apa gunanya."
2019
Comments
Post a Comment