Mudik
Hari ini saya dan keluarga sudah sampai di kampung halaman. Lebih cepat dari yang sebelumnya dijadwalkan karena ada tambahan dua hari cuti bersama. Kami menumpang pesawat paling pagi dari Pekanbaru dan sudah sampai di bandara Soetta pukul 9.00 pagi. Kami dijemput di bandara dengan mobil untuk melanjutkan perjalanan ke Cirebon. Sebelumnya kami berencana naik kereta untuk menghindari macet, akan tetapi tiket kereta pada tanggal kepulangan kami sudah ludes.
Sekitar pukul sepuluh kami berangkat dari bandara Soetta. Kami melewati tol lingkar luar menuju arah tol Cikampek. Sepanjang perjalanan di tol lingkar luar, suasana sangat lengang. Tidak terlihat tanda-tanda kegiatan mudik. Sampai di pintu tol Cikarang Utama jalanan masih sangat lancar. Kami sama sekali belum merasakan aura mudik. Kepadatan kendaraan baru terasa menjelang rest area di kilometer 39, itu pun tidak terlalu berarti karena kendaraan kami masih tetap bisa melaju dengan pelan. Petugas yang siap siaga menjaga di titik-titik rawan kemacetan membuat kemacetan yang biasanya diakibatkan rest area sedikit berkurang. Beberapa hal seperti penggunaan pembayaran non tunai juga sepertinya menunjang kelancaran lalu lintas. Sinergi dari semua yang bekerja demi kelancaran arus mudik patut diacungi jempol. Sekitar pukul 14.00 kami sudah keluar melalui pintu tol Plumbon. Setelah bergabung di jalur Pantura, aura mudik mulai terasa dengan banyaknya pemudik yang menggunakan sepeda motor. Pukul 15.00 kami sudah memasuki kota Cirebon melewati jalan Tuparev dengan disambut ucapan selamat datang yang tertulis besar-besar di atas tower air PDAM.
Bagi saya, mudik itu sangat besar unsur romantisme dan nostalgianya. Banyak hal yang membuat kita rindu kepada kampung halaman, termasuk di dalamnya makanan dan tradisi yang tidak bisa kita temui di rantau. Salah satu contoh saja, bahkan sebelum hari keberangkatan saya ke Cirebon, saya sudah membayangkan bisa makan dengan lauk sederhana seperti ampas kecap dan ikan asin cucut, bisa makan sate kambing khas Cirebon yang dipadukan dengan nasi lengko, bisa makan balakutak yang kuahnya hitam legam, bisa makan empal gentong dengan sambal bubuknya yang bikin mulut berasap dan makan tape ketan yang lezatnya bukan kepalang. Itu baru soal makanan.
Ada sisi yang menarik lain dari kampung halaman. Salah satunya baru saya sadari ketika salat tarawih tadi. Beberapa tahun yang lalu sempat viral video tentang masjid yang mengadakan salat tarawih dan witir 23 rakaat dalam tempo yang sangat singkat saja, sekitar 15 menit. Buat saya, salat tarawih dan witir 23 rakaat dalam tempo sekitar 15 sampai 30 menit itu biasa saja, alias tidak aneh. Salat seperti ini asal benar secara syarat dan rukunnya, tidak mengapa. Soal kekhusukan, itu urusan masing-masing. Soal Tuma'ninah, ada pendapat yang menyatakan bahwa Tuma'ninah itu hanya sekadar ucapan subhanallah saja. Malam ini, di musala dekat rumah mertua, saya salat tarawih plus witir 23 rakaat dalam tempo sekitar 25 menitan saja, tidak jauh dari waktu tempuh tarawih yang viral itu. Sebenarnya yang membuat risau bukanlah soal tarawih super cepat itu, melainkan soal agama yang dijalankan seperti itu. Agama dijalankan sebatas menggugurkan kewajiban-kewajiban saja. Terbatas pada melakukan gerakan-gerakan dan ucapan salat tanpa benar-benar memaknai, hanya berhaus-haus dan berlapar-lapar ketika berpuasa tanpa mempelajari empati, hanya berputar-putar mengelilingi kabah dan berlari-lari di antara safa dan marwah tanpa mengambil pelajaran darinya, hanya beragama ketika di masjid dan menanggalkan nya di pintu keluar hingga lupa kalau agama adalah soal menebar kebaikan.
Comments
Post a Comment