Posts

Showing posts from July, 2021

Cawang

Hari masih sore. Jam pulang kantor. Orang-orang memenuhi trotoar menuju stasiun Cawang. Tukang sate kulit, tukang siomay, tukang batagor masih sibuk melayani pelanggan. Seorang ibu muda berlomba dengan pengumuman kedatangan kereta menghabiskan sisa siomay di piringnya. Tukang cilok, tukang bakpau tidak kalah sibuk. Pengemudi ojol berbaris duduk memenuhi pinggiran trotoar, mereka sibuk melihat layar henfon, berharap ada order yang nyangkut. Seorang wanita muda dengan santai menuruni tangga menuju pintu masuk stasiun. Beberapa orang lagi yang tidak sabar mendahului lewat bagian setengah tangga lain, jatah orang-orang naik. Saya dengan sabar berjalan dibelakangnya. Toh di jam-jam sibuk ini kereta pasti banyak yang lewat dan sudah pasti semua penuh. Saya memasuki stasiun dengan menempelkan kartu uang elektronik pada e-gate. Persis beberapa meter tepat di depan gerbang-gerbang masuk elektronik saya selalu mendapat sambutan teriakan dari penunggu toko Roti Maryam. Saya tidak mengindahkan dan

Masjid Nabawi

Masjid Nabawi memiliki sejarah yang panjang. Dimulai dari hanya seluas 1.060 m2 ketika dibangun Rasulullah hingga kini luasnya mencapai 400.327 m2. Seiring dengan pekembangan politik, kota Madinah dan Masjid Nabawi juga telah melewati berbagai masa. Khalifah demi khalifah, sultan demi sultan dan raja demi raja berganti-ganti menguasai kota Madinah. Perluasan Masjid Nabawi tidak dapat terhindarkan dengan terus meningkatnya jumlah umat islam yang berkunjung. Masjid Nabawi saat ini merupakan hasil dari perluasan yang dilakukan oleh Pelayan Dua Tanah Suci, Raja Fahd. Perluasan ini memakan waktu sekitar 10 tahun sejak 1995. Pada tahun 2005, Raja Abdullah bin Abdul Aziz melengkapi Masjid Nabawi dengan 250 payung-payung raksasa yang bisa dututup dan dibuka. Pada tahun 2012, sebuah proyek yang bertujuan untuk menambah daya tampung masjid hingga 2 juta jamaah telah dimulai. Pada kunjungan saya di tahun 2016, pembangunan baru sedikit terlihat di sisi sebelah timur laut yang berdekatan dengan Baq

Kota Nabi

Begitulah resam dunia Tidak kekal selamanya Hati-hati sebelum kena Agar tidak terpedaya... Hmmmm... hmmmmm -- Resam Rindu, P Ramlee Penggalan lirik dari lagu Resam Rindu yang dinyanyikan seniman Melayu P Ramlee di film Bujang Lapuk yang saya putar di pesawat turut mengantarkan saya menuju Kota Madinah. Kota yang akan saya singgahi terlebih dahulu sebelum menjalankan ibadah umroh di kota Makkah. Setelah film itu habis saya tonton, setidaknya masih ada sekitar dua jam lagi sebelum pesawat mendarat di bandara Amir Muhammad bin Abdul Aziz (AMMA). Perjalanan dari Kuala Lumpur menuju Madinah setidaknya memakan waktu delapan setengah jam. Waktu yang cukup lama, sehingga tentu saja membuat semua pemumpang ingin duduk dekat-dekat dengan keluarganya. Istri dengan suaminya, anak dengan ibunya, kakak dengan adiknya atau mungkin juga ada penumpang yang ingin duduk dengan tetangga di kampungnya. Beberapa penumpang memang seharusnya didampingi oleh kerabat seperti pengguna kursi roda dan anak di bawa

Lima Belas Menit

Waktu menunjukkan pukul 17.50 ketika aku menempelkan jari di atas mesin presensi. Sebentar lagi magrib. Dari dalam gedung pandanganku tertuju ke masjid yang terletak persis di sebelah gedung. Aku sempat berfkir untuk menunda pulang sampai setelah magrib dan melanjutkan setelah selesai salat. Tapi apa daya kakiku tak menggubris dan terus melangkah meninggalkan gedung. Aku terus menyusuri jalan di sebelah BKPM menuju Gatot Subroto untuk menaiki jembatan penyebrangan. Aku memang bermaksud menggunakan bus Transjakarta untuk menuju stasiun Cawang. Ketika hendak naik jembatan penyebrangan, azan magrib berkumandang. Hatiku terusik. Terus melangkah menaiki tangga jembatan penyebrangan, aku melewati beberapa pedagang masih menggelar dagangannya begitu saja di lantai jembatan. Beberapa langkah lagi menuju tangga turun halte Transjakarta, suara azan terus memanggilku. Begitu kuat mengusik sanubariku. Entah mengapa aku menghentikan langkahku dan berbalik. Tuhan sungguh sedang mengasihiku. Aku putu

Timbangan

Sudah dua minggu ini ada penghuni baru di kantor. Sebuah timbangan dijital yang selalu mengundang hasrat untuk dinaiki. Kami sengaja menaruhnya tidak jauh dari pintu ruangan supaya terlihat oleh siapa pun yang masuk. Bahkan kami memasang himbauan untuk semua orang agar menaikinya sebelum masuk ke ruangan. Walaupun sering dinaiki bapak-bapak dengan bobot yang tidak ringan - bahkan ada yang lebih dari 100 kilogram -, timbangan ini tidak pernah mengeluh. Dia menerima semuanya. Laki-laki, perempuan, kurus, gemuk, ringan, berat, semuanya ia terima dengan lapang dada. Keluhan justru sering terdengar dari si penimbang berat badan. Hah, kok naik dua kilo! Hah, hanya makan gorengan sepuluh saja kok sampai sekilo setengah naiknya. Duh, minum air lima gelas juga ternyata bikin naik timbangan tho. Lalu mereka membuat janji-janji yang tidak pernah mereka tepati. Kehadiran timbangan dijital di ruangan memberikan kami kebiasaan baru. Semua orang menjadi hobi menimbang berat badannya. Sedikit-sedikit

Tidak Sembahyang Apa Gunanya

Menjelang magrib, jalanan di depan pintu keluar stasiun terlihat tersendat. Walaupun pintu keluar stasiun Lenteng Agung sudah dipagari untuk mencegah penumpang menyebrang sembarangan, tetap saja jalanan macet karena angkot yang mencari penumpang mengetem persis di sebelah jembatan penyebrangan. Suara klakson dari kendaraan-kendaraan yang tersendat membahana menghardik angkot yang sedang ngetem. Ketika saya menginjakkan kaki turun dari jembatan penyebrangan, seorang pemuda lusuh dengan gitar di tangan ikut mengarahkan saya menaiki angkot nomor 129. Di dalam angkot sudah ada beberapa orang penumpang, semuanya perempuan. Tiga orang sepertinya baru pulang kerja dan dua orang lagi masih remaja, mungkin baru pulang sekolah. Tidak terlalu lama setelah saya naik, angkot mulai jalan, sepertinya sang supir sudah puas dengan jumlah penumpangnya. Sang pemuda dengan gitar yang sebelumnya mengarahkan saya untuk naik angkot ternyata ikut naik. Ia duduk di kursi kecil tambahan di pintu keluar angkot d

Mulai Lebih Baik

Tinggal di Depok dan bekerja di Jakarta mau tidak mau menjadikan saya seorang komuter. Pagi sampai sore saya bekerja di Jakarta dan malam sampai pagi hari tinggal di Depok. Saya bersama sekitar 1,4 juta orang lainnya dari bodetabek (data BPS 2014) turut meramaikan jalanan, gedung-gedung perkantoran, mal dan tempat-tempat lainnya di Jakarta. Dulu, waktu tinggal di Depok dari 2009 sampai 2016, KRL menjadi favorit saya untuk berulang-alik karena kantor dekat dengan stasiun Gondangdia, tinggal jalan kaki sekitar lima belas sampai dua puluh menit. Kalau kepepet dan takut telat, saya bisa naik ojek dan babi (bajaj biru) dan sampai kantor hanya dalam lima menit saja. Selama sekitar tujuh tahun itu saya melewati beberapa kali perubahan sistem kereta listrik Jabodetabek. Masa-masa awal saya tinggal di Depok, saya masih merasakan naik Pakuan Expres dan Depok Ekspres. Kedua KRL ini memang tiketnya lumayan mahal (hampir enam kali lipat tiket KRL ekonomi), tapi kelebihan kereta ekspress adalah hany

Kenangan Pekanbaru

Semua orang akan kembali kepada Allah setelah kematiannya. Namun, yang paling berbahagia adalah orang yang kembali kepada Allah sebelum kematiannya. - Ustad X, Masjid Y. Saya sudah dua bulan kembali lagi ke Jakarta setelah sebelumnya diberikan kesempatan kurang lebih dua setengah tahun menikmati kehidupan yang luar biasa di Pekanbaru. Banyak hal-hal istimewa yang berat untuk ditinggalkan. Banyaknya orang-orang istimewa yang hadir dalam kehidupan membuat saya selalu berusaha bersyukur atas segala nikmat yang diberikan. Pekanbaru adalah kota metropolitan yang multikultur. Secara jumlah, suku Minangkabau menduduki peringkat teratas penduduk di Pekanbaru, disusul Melayu, Jawa, Batak dan Tionghoa. Karena itu, jangan heran, walaupun di negeri Melayu, rumah makan dan restoran yang menjual masakan Minangkabau sangat mudah ditemukan. Ajaibnya hampir menuanya enak. Bukan hanya masakan Minangkabau, masakan dan makanan dari daerah lain juga sangat mudah dicari di Pekanbaru, sebut saja bubur ayam J

Sado

Masih cerita tentang Manami-san, maksud saya tentang Sado. Sebelum memulai upacara minum teh, Manami-san bertanya kepada semua yang hadir di ruangan: "Kalau mendengar Jepang, apa yang pertama kali terlintas di benak mina-san (hadirin semua)?" Kami menjawab satu-satu, ada yang menjawab anime, ada yang menjawab sakura, ada yang menjawab manga, ada yang menjawab origami dan banyak lainnya. Saya sendiri menjawab Shinkansen dan Fuji. Manami-san lalu mengetikkan sesuatu di laptopnya dan menunjukkan gambar Shinkansen lewat dengan latar belakang gunung Fuji dan bilang kalau gambar Shinkansen dengan latar belakang Fuji memang ikonik dan sering jadi gambar di kartu pos. Namun menurutmya bukan itu semua yang sebenarnya yang merangkum Jepang dalam satu kata. Menurutnya, Sado-lah yang bisa dibilang dapat mewaki Jepang dalam satu kata. Katanya, Sado merangkum hampir seluruh aspek budaya Jepang. Lalu Manami-san menjelaskan lebih detil dengan mimik muka dan gerak tangan yang sangat antusias.

Ichigo Ichiye

Hari ini setengah sesi les bahasa Jepang diisi Manami-san yang memperkenalkan Sado, upacara minum teh ala Jepang. Salah satu tujuan Sado adalah untuk menunjukkan keramahtamahan tuan rumah dalam menyambut tamunya. Manami-san menerangkan semua tentang Sado, dari pengertian, sejarah sampai tata cara minum teh yang sedikit ribet. Manami-san adalah perempuan Jepang yang nyaris sempurna. Cantik, kulitnya putih bersih, senyumnya menawan dan tutur katanya sopan. Hanya ada satu kekurangannya, dia bukan istri saya. (kalau lucu, silakan tertawa). Manami-san adalah istri seorang peneliti yang sedang meneliti kebakaran hutan dan hanya tinggal di Pekanbaru untuk sementara. Beberapa bulan lagi ia akan kembali ke Jepang. Jika sempat, Manami biasanya mengikuti kelas kam. Bukan belajar bahasa Jepang, tapi sebaliknya, belajar bahasa Indonesia. Ada yang menarik soal Yukata yang dikenakan Manami-san waktu itu. Manami bercerita kalau perempuan Jepang suka menaruh barang-barang di bagian depan Yukata mereka.

Pemilu

Suatu hari, setelah menunaikan tugas ke sebuah perusahaan di Bangkinang, kabupaten Kampar, saya dan supervisor saya mampir di sebuah rumah makan ikan patin. Sambil menunggu makanan datang, saya melihat-lihat ke sekeliling. Tidak ada yang aneh, sama seperti kebanyakan rumah makan. Namun, ada sesuatu yang membuat saya mendadak tersenyum. Pandangan saya tertuju kepada dua buah figura yang memajang foto presiden dan wakil presiden yang tergantung di salah satu sisi dinding rumah makan itu.  Saya baru kali ini menemukan rumah makan yang memajang foto presiden dan wapres, tidak kalah dengan kantor kecamatan. Saya perhatikan terus kedua foto itu, dan sepertinya ada sesuatu yang ganjil. Sejenak saya belum menyadari keanehan pada foto itu. Setelah beberapa saat, akhirnya saya temukan juga keanehan yang membuat saya senyum-senyum sendiri. Ternyata, foto yang di figura itu bukan gambar Pak Jokowi dan Pak JK, melainkan masih gambar pak SBY dan JK. Sepertinya yang punya rumah makan lupa kalau sekar

Mudik

Hari ini saya dan keluarga sudah sampai di kampung halaman. Lebih cepat dari yang sebelumnya dijadwalkan karena ada tambahan dua hari cuti bersama. Kami menumpang pesawat paling pagi dari Pekanbaru dan sudah sampai di bandara Soetta pukul 9.00 pagi. Kami dijemput di bandara dengan mobil untuk melanjutkan perjalanan ke Cirebon. Sebelumnya kami berencana naik kereta untuk menghindari macet, akan tetapi tiket kereta pada tanggal kepulangan kami sudah ludes. Sekitar pukul sepuluh kami berangkat dari bandara Soetta. Kami melewati tol lingkar luar menuju arah tol Cikampek. Sepanjang perjalanan di tol lingkar luar, suasana sangat lengang. Tidak terlihat tanda-tanda kegiatan mudik. Sampai di pintu tol Cikarang Utama jalanan masih sangat lancar. Kami sama sekali belum merasakan aura mudik. Kepadatan kendaraan baru terasa menjelang rest area di kilometer 39, itu pun tidak terlalu berarti karena kendaraan kami masih tetap bisa melaju dengan pelan. Petugas yang siap siaga menjaga di titik-titik ra

Robohnya Surau Kami

Robohnya Surau Kami, bagi saya, adalah bintang dalam kumpulan cerpen AA Navis yang berjudul sama dengan cerpen pertamanya. Mungkin sudah banyak yang tahu ceritanya, tapi bolehlah saya ceritakan kembali sedikit saja. Nun di sebuah surau di satu negeri hiduplah seorang kakek yang sedari muda hidup sebagai penjaga surau. Segala hiruk-pikuk kehidupan dunia ditinggalkannya. Kerjanya hanya sembahyang dan mengaji. Namun, di suatu hari sang kakek ditemukan mati di suraunya, menggorok lehernya sendiri. Penyebabnya ternyata sepele saja, ia gusar karena mendengar sebuah cerita yang dikarangkan Ajo Sidi, tetangganya yang menitipkan pisau cukur untuk diasah. Ajo Sidi bercerita tentang Haji Saleh yang sesudah mati mengantri untuk dihadapkan pada Tuhan. Haji Saleh, karena kesalehannya begitu yakin kalau dia akan dimasukan ke surga. Tidak lama berselang, sampailah giliran Haji Saleh. Tuhan menanyakan pertanyaan pertama. "Apa kerjamu di dunia?" "Aku menyembah Engkau selalu Tuhanku."

Faust

"Eritis sicut Deus, Scientes bonum et malum." Itulah kutipan yang dituliskan Mephistopheles di buku seorang pelajar yang meminta nasihat kepada Faust di akhir obrolan mereka. Mephistopheles bertindak menggantikan Faust yang sebenarnya enggan menemui pelajar tersebut. Mephistopheles tidak tega jika membuatnya kecewa. Mephistopheles adalah setan yang datang kepada Faust, tokoh utama dalam lakon Faust karangan Goethe, dan membantunya kembali ke usia muda demi memperoleh pengetahuan dan meraih cinta seorang gadis dengan imbalan jiwanya. Sebelum bersekutu dengan setan, Faust adalah seorang terpelajar yang dihormati. Kutipan itu sebenarnya adalah ucapan setan yang berbentuk ular kepada Ibu Hawa ketika merayunya untuk makan buah dari pohon pengetahuan. Artinya kurang lebih begini, "Kalian akan seperti Tuhan, mengetahui apa yang baik dan jelek." Usaha setan itu termaktub dalam kitab Kejadian 3:5. yang berbunyi, "Tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya

Stasiun

Luas aula keberangkatan stasiun Gambir tidak berubah, masih sama seperti dulu. Yang berubah adalah kios-kiosnya. Sejak adanya perubahan sistem penjualan tiket kereta api menjadi online, loket-loket penjualan tiket kini sudah berganti dengan dengan KFC. Antrian pembeli tiket juga telah diganti dengan antrian pembeli ayam goreng. Saya melihat seorang ibu muda membawa nampan penuh ayam goreng dan Pepsi berjalan menghampiri suami dan anak-anaknya yang sudah menunggu di meja. Di sebelah mereka sepasang muda-mudi sedang asik mengobrol sambil menghabiskan paket sayap ayam dan minuman soda. Puluhan penumpang duduk di deret-deret kursi ruang tunggu di tengah aula keberangkatan. Beberapa orang asyik memainkan telepon genggamnya. Yang lainnya asyik mengobrol dengan teman sebelahnya. Tidak jauh dari tempat tunggu, seorang gadis melambaikan tangan kepada beberapa orang yang mengantarnya, kemungkinan adalah kedua orang tuanya dan seorang adiknya. Ia memasuki pintu masuk stasiun yang menjadi batas ke

Ketamakan

Pengusiran orang-orang Yahudi oleh Nazi Jerman banyak sekali diceritakan dan dibuat film. Setidaknya ada beberapa film yang saya ingat. Yang paling terakhir saya tonton sekitar dua bulan yang lalu adalah Zookeeper's Wife (2107). Film itu bercerita tentang sepasang suami istri (Jan dan Antonina) pengelola kebun binatang Warsawa, Polandia. Kehidupan menyenangkan sebagai pengelola kebun binatang berubah drastis ketika Jerman menginvasi Polandia. Koleksi binatang penting yang tersisa setelah pengeboman Jerman kemudian "dipinjam" dan diangkut ke kebun binatang Berlin. Binatang-binatang lain yang tersisa kemudian dimusnahkan sebelum musim dingin karena dianggap tidak akan bertahan. Tentara Jerman mengumpulkan orang-orang Yahudi dan memisahkan mereka dalam komplek penampungan (ghetto). Bersimpati pada teman-teman Yahudi mereka, Jan dan istrinya diam-diam membantu beberapa orang Yahudi keluar dari ghetto dan menyembunyikan mereka di ruang bawah tanah di rumah mereka. Apa yang mer

In Search of Fatima

Seru juga membaca bab-bab awal dari buku In Search of Fatima. Aku seperti diberikan kuliah sejarah bagaimana konflik di Palestina bermula. Ghada bercerita tentang bagaimana awalnya Yahudi Eropa datang. Dia mengutip beberapa perkataan kakaknya Siham. Intinya, Pada awalnya mereka menganggap bahwa walaupun berbeda dari orang-orang Yahudi yang sudah lama mereka kenal. "Mereka hanya pendatang seperti banyak orang lainnya di Yerusalem dan kami menerima mereka." Ujar Siham. Jumlah orang Yahudi di Palestina sebelum imigrasi Yahudi Eropa pada 1880 hanyalah 3.000 orang dari populasi 350.000. Pada tahun 1930-an kebanyakan orang-orang Yahudi yang masuk adalah pelarian dari kekejaman Nazi Jerman. Pemerintah Mandat Inggris yang saat itu memerintah Palestina memang mengijinkan masuknya imigran Yahudi. Dalam perkembangannya, Inggris -katanya- kemudian melatih, mempersenjatai, membiayai dan membayar Haganah, tentara bawah tanah Yahudi di Palestina yang walaupun illegal kenyataannya dianggap s