Pasar Selasa

Kami memasuki sebuah gang. Sekitar dua puluhan sepeda motor terparkir di sisi kirinya, menyisakan ruang yang hanya cukup dilewati dua motor saja. Kami mencari celah yang cukup untuk memarkirkan motor kami. Di depan kami, seorang ibu dengan sebuah kantong plastik besar menghampiri sebuah motor matic kemudian duduk di atas joknya dan menekan tombol starter. Motor menyala. Seorang laki-laki memegang ujung jok sepeda motornya, menariknya keluar dari barisan parkiran. Sang ibu mengulurkan tangan, memberi laki-laki itu recehan dan secepat kilat berlalu. Kami kemudian memarkirkan motor di tempat yang ditinggalkan ibu tadi. Kami turun dari motor dan berjalan terus memasuki gang. Semakin ke dalam, gang semakin melebar dan dipenuhi sepeda motor bukan hanya di sisi kirinya tapi juga di sisi kanannya.
Setelah beberapa langkah kami berjalan, gang itu membawa kami pada pemandangan yang menakjubkan: sebuah tanah lapang dan kesibukan sebuah pasar. Sudah beberapa pekan ini, sepulang kerja saya dan istri selalu menyempatkan diri untuk berbelanja di pasar Selasa tidak jauh dari komplek tempat kami tinggal. Kami menyebutnya begitu karena pasar dadakan ini hanya ada pada hari Selasa. Istri saya tadinya hanya belanja di kedai-kedai atau di supermarket saja dengan alasan kepraktisan. Memang tidak Sebesar pasar sesungguhnya, namun berbelanja di sini cukup mengasyikan. Ratusan pedagang menggelar dagangan mereka di sebuah tanah lapang kosong. Beberapa pedagang menggelar begitu saja dagangan mereka di atas terpal, beberapa menggunakan meja dan tenda. Soal harga, barang-barang di Pasar Selasa dijamin lebih murah dari harga barang di kedai dan supermarket. Untuk ilustrasi, satu ikat bayam dihargai seribu lima ratus rupiah saja sedangkan di kedai dihargai dua ribu rupiah dan di supermarket dekat rumah harganya dua ribu lima ratus rupiah.
Persis setelah batas parkiran sepeda motor, seorang pedagang telur ayam menggelar dagangannya di atas meja. Ada yang unik dengan cara pedagang menjual telur. Telur tidak dijual per kilogram namun dijual dengan satuan papan telur. Satu papan telur memuat tiga puluh butir telur. Pembeli bisa membeli setengahnya atau bahkan membeli beberapa butir saja. Telur-telur biasanya dibagi menjadi dua atau tiga grade berdasarkan besar kecilnya telur dan kriteria lainnya dan selisih harga setiap grade hanya seribu atau dua ribu rupiah. Kami selalu membeli telur dengan harga tertinggi karena menurut istri saya salah satu kriteria grading adalah kesegaran telur.
Tidak jauh dari penjual telur ayam, pedagang telur lain menggelar dagangannya. Bukan telur ayam yang dijualnya, melainkan telur burung puyuh, telur bebek dan telur asin yang masih mentah. Disebelahnya seorang pedagang duduk menghadapi sebuah box berisikan anak-anak ayam berwarna-warni yang baru menetas. Melangkah sedikit lagi, terlihat tumpukan petai dan jengkol yang ditumpuk begitu saja di atas terpal. Jengkol yang dijual biasanya belum dikupas dan dijual dengan ukuran piring-piring plastik. Di belakang lapak jengkol, berbagai macam ikan asin digelar di sebuah meja besar.
Di lapangan bagian kiri gang berkumpul penjual-penjual ikan. Ikan yang dijual bermacam-macam, ada ikan laut dan ada ikan air tawar. Sangat asyik melihat jenis-jenis ikan yang dipajang. Jenis ikan air tawar yang paling banyak dijual adalah ikan nila dan ikan patin, kedua ikan ini biasanya dijual dalam keadaan hidup. Saya juga melihat belut dan ikan lele. Warna-warni ikan laut yang cerah dan tampilannya yang segar menggoda saya untuk membeli. Saya melihat baronang, kakap merah, tongkol, sarden dan banyak jenis ikan lain yang tidak saya tahu namanya. Beberapa penjual juga menjual seafood lain seperti kerang dan cumi-cumi. Sama seperti di supermarket, pembeli ikan bisa sekaligus meminta penjual untuk memotong dan membersihkannya.
Kami menyusuri lapak demi lapak pedagang. Berbelanja seperti ini membutuhkan keteguhan hati juga, perlu perencanaan yang matang sehingga tidak tergoda untuk membeli semua barang. Melihat jeruk nipis yang sudah ditata per piring saja bisa membuat kita membayangkan minuman jeruk nipis peras. Kami membelinya. Selanjutnya kami berhenti di depan penjual bumbu dan membeli bawang merah dan bawang putih. Di lapak sebelahnya kami membeli labu dan jagung untuk membuat kolak dan jagung keju kesukaan anak kami. Kami membeli ikan sarai yang sangat lezat digoreng dan kerang yang sudah dikupas. Sebenarnya saya tergoda juga membeli ikan lainnya tapi bingung bagaimana memasaknya nanti.
Setelah puas berkeliling di lapangan sisi kiri gang kami berpindah ke sisi kanan. Sisi kanan pasar tidak kalah menarik, didominasi penjual sayuran seperti kentang, bayam, tomat, cabai merah, cabai hijau, kol, kacang panjang, sawi dan wortel. Di sisi kanan ini juga ada penjual ikan asap khas Riau yang disebut ikan salai. Biasanya ikan asap ini terbuat dari ikan Selais, ikan baung dan ikan lele. Beberapa pekan lalu kami juga menemukan ikan pindang. Kami membeli beberapa bungkus tahu dan kembang tahu yang sudah diberi kuah jahe dan pandan. Kami juga melihat beberapa lapak yang menjual pakaian, namun lapak-lapak pakaian ini tidak ramai dikunjungi seramai lapak sayur maupun bahan makanan lain.
Sebelum kami selesai berkeliling, hari sudah mulai gelap. Azan magrib yang sudah terdengar berkumandang dari kejauhan mengakhiri keseruan hari Selasa kami. Kami pun bergegas menuju parkiran sepeda motor dengan satu kantong penuh belanjaan ikan, telur, dan sayur mayur yang cukup untuk persediaan lauk selama seminggu. Kami pulang dengan hati riang. Sungguh hari selasa yang menyenangkan.

November 26, 2017

Comments

Popular posts from this blog

Karya Besar Vincent van Gogh

Yang Muda Berhaji

11 Lagu Wajib Anak Tongkrongan Depan Gang Tahun 90'an