Muslim Bersaudara

Zaman saya kecil, saya hanya mengenal dua jenis umat islam: yang salat subuhnya pake qunut dan yang tidak. Bisa juga berdasarkan rakaat tarawih: yang tarawihnya sebelas rakaat dan dua puluh tiga rakaat. Kampung saya adalah jenis yang pakai qunut kalau salat subuh dan tarawihnya dua puluh tiga rakaat sedangkan komplek perumnas di sekitar kampung saya adalah yang tidak pakai qunut dan salat tarawihnya sebelas rakaat. Sesimple itu, oh iya, sebagai tambahan, yang salat subuhnya pake qunut itu biasanya kalau ada kerabat yang meninggal pake tahlilan di rumahnya dan yang nggak pake qunut itu biasanya sepi-sepi saja. Yang pasti, bagaimanapun beda keduanya, masih sama-sama umat islam dan sama-sama salat.
Balik ke soal qunut, saya yang terbiasa qunut sejak kecil sampai sekitar usia sekolah menengah, ketika kuliah sudah jarang qunut lagi. Di lingkungan kampus hampir semua masjid tidak pakai qunut. Saya sih tidak pilih-pilih masjid. Mau qunut boleh, nggak qunut juga nggak maksa. Jadi begini, kalau kita terbiasa qunut mendapat imam yang tidak qunut itu ya pasti kita ikuti, karena nggak mungkin kan qunut sendiri, bisa ketinggalan. Nah yang biasa nggak qunut ini kalau saya perhatikan kalau ikut imam yang qunut, nggak pada ikutan qunut. Mengangkat tangan saja tidak. Saya sendiri sekarang-sekarang ini kalau menjadi imam di komplek yang biasanya nggak pernah qunut ya nggak berani juga tiba-tiba qunut. Tapi begitu saya pulang kampung pas mudik lebaran tahun kemarin dan menjadi imam di rest area tol Cipali ya saya pakai qunut dan pasti banyak yang mengaminkan.
Tahun demi tahun berlalu, saya melihat umat islam di Indonesia sekarang lebih berwarna. Ada yang kalau salat mesti pakai sarung dan peci hitam, ada yang sukanya pakai gamis panjang ala Arab, ada yang senengnya pakai baju koko dan celana pantalon, ada juga yang seneng banget pakai baju ala Pakistan. Buat saya, ini sesederhana nonton tv hitam putih dan tv berwarna. TV hitam putih cuma ada dua warna sedangkan TV color ada banyak warna. Tentu lebih asyik nonton tv berwarna. Masalah timbul ketika TV rusak, atau antena tv diputar kurang pas. Warna-warna di layar jadi terdistorsi dan kadang beleberan. Warna satu dengan yang lain saling berebut mewarnai warna lainnya. Bagaimana itu ya bahasanya. Entahlah. Bahkan kengerian timbul ketika ada warna-warna yang maksa offside mewarnai warna lain. Bayangkan ketika gambar mata yang seharusnya warnanya ada hitam dan putih jadi putih semua atau hitam semua. Juga bibir yang seharusnya merah jadi warna putih juga. Ngeri. Yang terjadi di Mesir kemarin di sebuah masjid ya begitu. Ada kelompok tertentu yang pingin gambar di layar TV nya hitam semua atau putih semua. Ngeri.
Kengerian berlanjut bahkan ketika saya membuka linimasa media sosial. Ada saja bahan yang dijadikan pertentangan umat islam Indonesia zaman now. Nggak seru kalau nggak eyel-eyelan. Pro 212 dan tidak pro 212, pro ahok dan anti ahok, pro kang Anu dan pro kang Inu, pro ustad Ini dan anti ustad itu, pro Via Valen dan pro Nella Kharisma. Kata ganti favorit di tulisan-tulisan inspiratif menggigit yang kadang jutaan like nya itu adalah "mereka". Mereka jelas tidak sama dengan "kami". (Ya iyalah) Kalau tidak sama ya berarti beda. Eh maksudnya, kalau mereka tidak sama dengan kami ya pasti jelek. Rumus yang selalu dipakai adalah anu kami pasti bagus dan anu mereka pasti jelek. Hei, sadarlah, buat saya kalian semua adalah saudara. Kalau kalian bertengkar dan diadu, kalian akan sama-sama sakit. Kalau kalian sakit, saya jadi sedih. Gitu?. Iya, gitu.

December 2, 2017

Comments

Popular posts from this blog

Karya Besar Vincent van Gogh

11 Lagu Wajib Anak Tongkrongan Depan Gang Tahun 90'an

Yang Muda Berhaji