Kerjakan Bagianmu

Ketika masih duduk di bangku SMA, saya punya banyak cita-cita. Kebanyakan cita-cita saya berhubungan dengan seni. Dari menjadi pelukis terkenal, penyair yang puisinya didengarkan semua orang, menjadi penulis yang novelnya dibaca banyak orang, sampai punya band besar yang albumnya meledak, terkenal, konser di mana-mana. Itu dulu.
Setelah lulus SMA, ternyata saya kuliah di sekolah yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan semua cita-cita saya itu. Namun begitu, setelah lulus kuliah saya kemudian bekerja dan mendapatkan gaji setiap bulan. Dengan gaji itu saya bisa memenuhi kebutuhan. Saya bisa membeli makanan, minuman dan segala kebutuhan mendasar lain seperti membeli pakaian dan mengontrak rumah. Setelah kebutuhan dasar terpenuhi, saya mulai memanjat hierarki kebutuhan Maslow. Saya memerlukan hal-hal lain untuk memenuhi kebutuhan selain kebutuhan fisiologis. Saya menikah, bergabung dengan komunitas yang mempunyai minat yang sama, menonton konser band idola, bekerja sebaik mungkin di kantor untuk bisa berprestasi, mengikuti les bahasa Prancis, membeli gitar untuk menciptakan lagu, membali kamera untuk memotret, membeli kanvas dan kuas untuk melukis, laptop yang bagus untuk menulis dan melakukan hal lain untuk dapat memenuhi kebutuhan aktualisasi diri.
Saya jadi teringat masa-masa saya kecil dulu. Saya tinggal di salah satu kampung yang cukup tua di Cirebon, kampung Larangan namanya. Saya masih ingat bagaimana saya sering nongkrong di ujung jalan kampung di tepi jalan utama untuk melihat pedati. Pedati adalah moda transportasi angkutan barang dengan kereta yang beratap mirip atap rumah yang terbuat dari jerami, beberapa roda besar terbuat dari kayu dan ditarik oleh dua ekor kerbau. Waktu itu saya mungkin masih balita. Setelah beberapa tahun menumpang di rumah keluarga milik buyut (kakek-nenek dari ibu) orang tua saya kemudian bisa membangun rumah sendiri. Rumah kami terletak hanya beberapa meter dari musala kampung. Di depan musala terdapat tanah kosong yang ditengahnya terdapat pohon sawo yang waktu saya kecil terlihat sangat besar. Saya sering menaiki pohon sawo ini dan melihat anak-anak lain bermain.
Musala kampung kami sangat ramai terutama di waktu magrib dan isya. Setelah salat magrib, anak-anak tidak pulang ke rumah melainkan mengaji sampai isya. Anak-anak kecil mengaji juz Amma (juz 30) dengan pembimbing-pembimbing yang biasanya abang-abang kami yang sudah pulang dari pesantren. Anak-anak yang sudah selesai mengaji juz Amma akan mengaji Quran Besar, istilah kami untuk menyebut Alquran lengkap tiga puluh juz. Pada malam jumat, kegiatan mengaji kami libur. Kegiatan diganti dengan tahlilan. Tahlilan adalah sebutan untuk kumpul-kumpul jamaah musala untuk berzikir bersama dipimpin oleh seseorang yang dituakan dan dianggap alim. Tahlilan biasanya dimulai dengan mendoakan kerabat-kerabat kami yang sudah meninggal dunia, dilanjutkan dengan melantunkan kalimat tahlil, tasbih, selawat kepada baginda Nabi, beberapa surat pendek, dan diakhiri dengan doa. Doa adalah bagian yang kami, anak-anak, tunggu karena bersamaan dengan doa ini akan muncul tampah-tampah berisi piring-piring penuh kudapan-kudapan lezat mengalir deras memasuki musala dan gelas-gelas berisi air teh dibagikan. Hampir setiap malam jumat makanan-makanan yang disajikan selalu saja berbeda-beda karena kemungkinan yang membawanya juga berbeda. Acara ini sebenarnya adalah acara potluck. Bapak-bapak tahlilan, ibu-ibu mengumpulkan makanan untuk dimakan bersama. Jika beruntung, bukan hanya kudapan, kami juga bisa makan besar nasi kuning dengan lauk telur dadar.
Setelah acara tahlilan, musala menjadi tempat bersosialisasi bagi warga kampung. Mereka akan saling menanyakan kabar dan bercerita. Mereka bercerita tentang kegiatan sehari-hari di sawah atau kebun, tentang kabar-kabar yang beredar di kampung, bercerita tentang anak-anak mereka, saling membanggakan anak-anak mereka. Membicarakan warga baru di kampung dan jika ada mereka akan memperkenalkan diri. Mereka yang pernah berhaji akan bercerita tentang perjalanan-perjalanan haji. Yang menarik dan seru adalah cerita-cerita perjalanan haji para tetua yang berhaji menggunakan kapal laut. Beberapa orang memilih untuk berkumpul dan memainkan rebana dan menyanyikan lagu-lagu yang terdengar aneh. Kemungkinan lagu-lagu pujian atau selawat, tapi ya tetap saja terdengar aneh. Anak-anak biasanya mengobrol dengan teman-teman sebaya.
Warga kampung pada saat itu hanya perlu musala, kegiatan sederhana seperti tahlilan, potluck dan permainan rebana untuk menjadi masyarakat sehat dan bahagia. Musala dan kegiatan di dalamnya memberikan wadah bagi para warga untuk memenuhi kebutuhan yang berbeda-beda. Ada yang pergi ke musala dan tahlilan untuk aktualisasi diri, ada juga yang mempunyai motif ingin dihargai, untuk bersosialisasi namun ada juga yang hanya sebatas ingin makan saja. Tergantung kebutuhan masing-masing. Ini berlaku dalam segala aktivitas yang kita lakukan.
Pekerjaan yang berbeda bisa jadi mempunyai nilai yang sama. Seorang politikus, seorang seniman, seorang kuli panggul adalah sama jika apa yang dikerjakannya hanya didorong oleh motivasi untuk memenuhi kebutuhan mendasar saja. Jika kita bekerja dengan niat hanya mencari uang maka tentu kita bisa mencapai tujuan kita itu. Jika kita bekerja hanya sebagai pemenuhan kebutuhan kita akan status sosial atau kebanggaan diri, kita juga akan mendapatkan itu. Bagi seorang muslim, nilai suatu pekerjaan dan perbuatan adalah tergantung dari niatnya. Pekerjaan yang sama akan mempunyai nilai yang berbeda. Kita tentu akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan tujuan kita. Bagaimana kita bekerja dengan satu niat dan bisa mendapatkan segalanya? Bekerja hanya untuk (mengharapkan keridhoan) Allah. Dengan niat itu, seorang muslim akan selalu memberikan yang terbaik. Manusia sebaiknya mengerjakan bagiannya: beribadah. Allah tentu mengerjakan bagian-Nya.

December 19, 2017

Comments

Popular posts from this blog

Karya Besar Vincent van Gogh

Yang Muda Berhaji

11 Lagu Wajib Anak Tongkrongan Depan Gang Tahun 90'an