GORO

Rebba sipatokkong, mali siparappé, sirui ménré tessirui nok, malilu sipakainge, maingeppi mupaja.
Artinya: “rebah saling menegakkan, hanyut saling mendamparkan, saling menarik ke atas dan tidak saling menekan ke bawah, terlupa saling mengingatkan, nanti sadar atau tertolong barulah berhenti."
Saya pertama kali membaca pepatah Bugis itu di layar sebuah teks berjalan di Fort Rotterdam, Makassar. Begitu meninggalkan Fort Rotterdam memang saya sama sekali lupa dengan teks pepatah itu, namun saya ingat sedikit artinya. Internet memungkinkan saya menemukan teks pepatah itu, lengkap dengan artinya.
Pepatah tersebut baik sekali untuk dibaca dan direnungi maknanya di zaman mulai memudarnya rasa peduli karena semua orang sibuk dengan urusannya sendiri. Termasuk saya. Boro-boro ngurusin orang lain, ngurusin diri sendiri aja udah susah, apalagi berat saya sekarang lebih dari 85 kg. #eh
Saya sebenarnya bukan mau ngebahas pepatah di atas, belum ketemu cerita yang pas. Saya cuma mau cerita gotong royong di komplek rumah kontrakan saya di Pekanbaru yang mungkin malah ada hubungannya dengan pepatah "Ringan sama dijinjing berat sama dipikul"
Sesuai rencana, pemotongan empat ekor hewan kurban diadakan pada hari Sabtu, sehari setelah hari raya Idul Adha. Tepat jam 7.00 TOA di musala sudah berteriak kencang memanggil-manggil warga. Pak RT juga sudah berkali-kali mengirimkan pesan ke grup whatsapp komplek. Isi pesannya sama, warga diminta cepat berkumpul di lapangan badminton untuk bersama-sama menyaksikan dan mengurus hewan kurban yang akan dipotong.
Sehari sebelumnya, sebenarnya saya dan beberapa warga lainnya sudah duluan ngumpul di sana memasang tenda untuk berteduh dan menggelar terpal untuk alas pemotongan daging. Kami juga mempersiapkan area untuk makan-makan. Wah ada makan-makannya juga.
Tidak begitu lama setelah warga berkumpul, acara kurban dimulai. Panitia memanggil satu per satu nama-nama peserta kurban. Lazimnya satu hewan kurban berupa sapi adalah patungan dari tujuh peserta kurban. Penyembelihan hewan-hewan berlangsung singkat dan lancar.
Saya yang di kepanitiaan resmi tercatat sebagai humas bingung juga mau ngapain. Dari beberapa bagian kepanitiaan, humas inilah yang paling tidak jelas tugasnya. Mungkin karena itu juga saya dimasukkan dalam kepanitiaan. Yang saya ingat, kerja saya di kepanitiaan hanya mengantar pak RT dan ketua panitia melihat sapi yang akan dibeli dan membantu memasang tenda di lapangan badminton sehari sebelum pelaksanaan kurban ini.
Beberapa tahun ke belakang, jarang sekali saya menyerahkan hewan kurban ke musala atau masjid. Saya biasanya menyerahkan hewan kurban di rumah orang tua. Tugas membeli hewan kurban menyembelih, menguliti sampai membagikan daging dilakukan oleh bapak saya dibantu beberapa tetangga. Saya cuman nonton.
Sudah dua tahun ini saya tidak pulang untuk Idul Adha. Selain soal dana, bagi saya dan mungkin muslim di Indonesia umumnya, tidak seperti Idul Fitri, Idul Adha adalah hari raya kelas dua saja. Tidak ada tradisi mudik dan beli baju baru, bahkan masak makanan enak pun kadang tidak.
Kembali ke acara pemotongan hewan kurban di komplek. Di samping bapak-bapak yang sibuk mengurus hewan kurban, ibu-ibu juga tidak kalah heboh. Mereka membuat dapur umum dan sibuk dengan aktifitas mencuci bahan makanan, mempersiapkan bumbu masakan, memasak air untuk menyeduh kopi, membuat es sirop agar-agar dan segala macam kegiatan dapur lainnya.
Pukul satu siang, pekerjaan yang berhubungan dengan hewan kurban sudah selesai. Satu kilogram daging ditambah bagian-bagian lain sudah dimasukan dalam kantung-kantung plastik. Panitia tidak membagikan daging ke rumah-rumah karena sebelumnya kupon pengambilan daging sudah dibagikan. Pemegang kupon tinggal menukarkan kupon dengan daging di tempat yang sudah ditentukan.
Di bagian ibu-ibu, masak-memasak juga sudah selesai. Hidangan sudah tersaji dengan rapih di meja menunggu untuk disantap. Dengan komando dari pak RT dan karena sudah waktunya juga, acara makan siang segera dimulai. Bapak-bapak, ibu-ibu dan anak-anak semua duduk bersama menikmati hidangan. Bagi saya, makan siang kali ini terasa sangat lezat.
Selain sarat degan makna, ritual kurban kali ini membuat saya melihat keindahan pada bapak-bapak yang bekerja dengan kompak, ibu-ibu yang cekatan di dapur umum dan anak-anak yang bermain dengan ceria. Melihat semua itu membuat saya yakin kalau Indonesia masih mempunyai masa depan yang cerah.

September 12, 2017

Comments

Popular posts from this blog

Karya Besar Vincent van Gogh

Yang Muda Berhaji

11 Lagu Wajib Anak Tongkrongan Depan Gang Tahun 90'an