Menerima dan memberi

Sabtu, 10 Desember 2016, sekitar sepekan yang lalu, saya menghadiri Silaturahmi Akbar Alumni Pondok Pesantren Jagasatru Cirebon. Jauh-jauh hari sebelumnya, saya memang sudah mengagendakan untuk bisa hadir dalam acara tersebut. Ada perasaan yang kuat yang mendorong saya untuk hadir.
Dua pekan sebelum acara saya mendapat kabar kalau saya akan diberi tugas untuk menghadiri training namun waktu dan tempat belum ditentukan, kabarnya sih tempatnya di Bandung. Saya sangat bersyukur karena Bandung dan Cirebon hanya beberapa jam perjalanan saja. Setelah saya mengikuti training di hari kerja, saya bisa ke Cirebon untuk menghadiri acara silaturahmi. Di akhir pekan sebelum acara, saya mendapat kabar yang mengejutkan, training ternyata akan diselenggarakan di pekan bertepatan dengan acara temu alumni tadi dan yang lebih mengejutkan lagi: training tidak diselenggarakan di Bandung, tapi di Cirebon. Wow, Cirebon.
Dan begitulah, saya akhirnya bisa menghadiri acara temu alumni sekaligus melaksanakan tugas. Selasa sampai Jumat training, Sabtu saya menghadiri acara. Alhamdulillah saya juga sempat mengunjungi orang tua, mertua dan bertemu dengan beberapa teman SMA.
Masa-masa mondok adalah masa-masa yang sangat berharga dan penuh kenangan. Walaupun setelah keluar dari sana saya nggak jago-jago banget baca kitab ini dan itu, saya setidaknya belajar beberapa hal.
Pertama: kamar ukuran 3x4m ternyata bisa dihuni oleh 9 anak. Tentu tidak semuanya tidur di kamar itu, sebagian lain memilih tidur di aula pondok. Saya ingat, tempat favorit saya tidur adalah sebuah tong kayu tempat menyimpan beras yang sempat saya tanyakan keberadaannya. Sayangnya, kamar kami tercinta sudah berubah menjadi toilet. Padahal dari dulu, kamar kami, kamar lima putra yang disingkat KAMATRA sering disebut kamar kecil karena memang berukuran paling kecil diantara kamar-kamar lainnya.
Kedua: waktu paling baik untuk tidur siang adalah pengajian kitab Fathul Muin di rumah pengasuh pondok (Kang Ayip Muh). Sebagian besar santri di Jagasatru, selain mondok juga adalah pelajar dan mahasiswa sekolah umum di luar pondok. Saya sendiri sekolah di SMPN 2 Cirebon yang berjarak sekitar 4 km dari pondok. Untuk menghemat ongkos angkot saya kadang berjalan kaki, kadang naik sepeda. Pengajian yang dimulai pukul 2 sampai waktu asar itu sungguh-sungguh menguji mata saya yang baru saja pulang sekolah. Terus terang ngaji Fathul Muin jam 2 siang itu agak-agak berat dan susah sekali dimengerti untuk anak SMP kelas dua seperti saya pada waktu itu. Bukan hanya karena pembahasannya yang rumit dan rinci tapi juga karena sebagian besar waktu pengajian digunakan untuk tidur disponsori oleh angin sepoi-sepoi di teras rumah beliau.
Ketiga: kita harus bangun pagi. Kalau tidak, kita bakal jadi sasaran empuk tongkat sakti kepala pondok yang tidak segan-segan menggedor pintu lemari. Biasanya sih, tidak sampai gedoran di pintu lemari, mendengar tongkat itu dipantul-pantulkan di selasar depan kamar saja nyali sudah menciut. Lagian, kalau kita bangun kesiangan dijamin bakal nambah tidur di depan kamar mandi karena ngantri terlalu lama untuk mandi.
Keempat: membuktikan bahwa makanan satu orang cukup untuk berdua, makanan dua orang cukup untuk empat orang, makanan empat orang bisa untuk delapan orang. Untuk kepraktisan dan kehematan, di bulan Ramadan, kamar kami sepakat untuk memasak nasi sendiri dengan ngeliwet. Rice Cooker belum begitu ngetop waktu itu. Untuk lauk, kami patungan dan membeli di warteg terdekat. Setelah nasi masak dan teman kami yang bertugas membeli lauk sudah datang, nasi dan lauk-pauk akan ditempatkan dalam dua buah nampan bundar (tabsi) kecil. Untuk ukuran sekarang, mungkin saya sendiri juga bakal habis melahap isi nampan itu. Pada waktu itu, satu nampan kami bagi untuk empat sampai lima orang. Ajaib, kami bertahan juga puasa sampe maghrib. Mungkin karena kami tambah satu menu lagi setelah makan: minum air kran sebanyak-banyaknya. Hahahah.
Wah sudah terlalu panjang saya bercerita. Sebenernya sih masih banyak kenangan indah lainnya. Well, sebagai bonus saya ingin berbagi sebuah nasihat guru kami Kang Ayip Muh tentang tugas santri:
"Tugas santri iku belajar. Baka beli belajar ya ngajar. Baka beli ngajar ya belajar."
"Tugas santri adalah belajar. Kalau tidak belajar ya mengajar. Kalau tidak mengajar ya belajar."
Nasihat itu sederhana namun begitu dalam maknanya. Kita, manusia adalah santri seumur hidup. Kita harus terus-menerus belajar, menerima dari kehidupan. Dalam kesempatan lain kita mengajar dan berbagi untuk kehidupan. Belajar adalah proses menerima, mengajar adalah proses memberi. Menerima dan memberi.

December 19, 2016

Comments

Popular posts from this blog

Karya Besar Vincent van Gogh

Yang Muda Berhaji

11 Lagu Wajib Anak Tongkrongan Depan Gang Tahun 90'an