Karya Nyata
Pekan ini saya banyak mendapatkan kegembiraan. Salah satunya berasal dari istri saya. Dia memang setiap hari memberi saya kegembiraan, namun pekan ini sedikit beda.
Akhir pekan sebelumnya, kami mampir di sebuah kios perlatan rumah tangga untuk membeli sebuah oven. Sebenarnya, sejak dari bertahun-tahun lalu sebelum dijual ke tetangga, kami sudah pake kompor canggih yang sudah ada oven-nya tapi saya nggak ingat satu kali pun istri saya pernah pakai ovennya untuk membuat kue atau bolu. Setelah menawar seperlunya (tidak afgan), tanpa banyak cincong, kami akhirnya membeli oven manual made in Indonesia merek Hock seharga 450 ribu rupiah.
Kelar membeli oven, saya bilang kepada istri saya sebaiknya kita langsung pulang saja, padahal saya tahu istri saya sebenarnya ingin sekali singgah ke toko panci di lantai 3 Pasar Bawah untuk beli kukusan. Saya bilang lain kali saja, repot bawa-bawa kardus oven-nya, padahal sih karena dompet saya memang sedang cekak saja.
Setelah beberapa hari oven-nya nganggur dan beberapa episode belanja kebutuhan membuat kue, akhirnya D day itu datang juga. Dibantu oleh anak saya, istri saya mulai membuat adonan kue, katanya sih namanya marble cake alias kue marmer. Setelah adonan siap, saya bertugas memasukkan kue ke dalam oven yang sebelumnya sudah dipanaskan di atas kompor. Loyang akhirnya berhasil dimasukkan ke dalam oven walaupun posisinya agak miring.
Marble cake rupanya tidak butuh waktu banyak untuk bisa matang di dalam oven dengan panas 150 derajat, hanya beberapa menit saja. Setelah dikeluarkan dari oven, kue marmer itu dipindahkan dari loyang ke atas piring dan siap untuk diujirasa.
Saya tentu saja kebagian juga kuenya. Dengan sedikit deg-degan dan was-was, saya masukkan sepotong kue ke dalam mulut. Ow, ternyata rasanya sungguh mengagumkan, seperti kue marmer sungguhan. Berhasil. Kami (saya masuk juga dalam tim karena ikut memasukkan loyang ke dalam oven) berhasil juga membuat kue sungguhan. Kami berhasil membuat sesuatu yang nyata.
Saya melihat wajah istri saya dan anak saya begitu sumringah (dan mungkin wajah saya juga) memandangi kue marmer yang tidak begitu rata tingginya itu di atas piring di depan kami.
Bahagia. Itu yang kami rasakan setelah membuat sesuatu yang nyata. Karya nyata yang terwujud dari hasil kerjasama walau hanya dalam bentuk sebuah kue marmer.
November 5, 2016
Comments
Post a Comment