Menuju Ampunan Allah

Jika Makkah sering dihubungkan dengan Masjid Al Haram dan Ka’bah, maka Madinah akan mengingatkan kita pada sosok nabi tercinta Muhammad SAW. Bagaimana tidak, Madinah adalah kota tempat Rasulullah bermukim selama 10 tahun paska hijrah sampai beliau wafat. Sebelum hijrah, nama kota Madinah adalah Yasrib yang diambil dari nama orang yang mendirikan kota itu. Setelah hijrah, Rasulullah menggunakan nama Madinah.
Masa-masa Rasulullah tinggal di Madinah merupakan masa-masa ketika Rasul menata kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Rasulullah mengajarkan umat islam urusan agama mereka dalam seluruh aspek kehidupan dalam keamanan dan kebebasan. Pada masa itu pendatang dari Makkah yang disebut Muhajirin dan penduduk asli Madinah yang disebut Anshar hidup rukun berdampingan termasuk dengan kaum Yahudi, baik yang kemudian memeluk agama Islam maupun yang tetap memegang agama mereka.
Angin yang cukup dingin di Jumat sore dua pekan yang lalu menyambut saya ketika saya menginjakkan kaki di tanah haram kota Madinah setelah perjalanan sejauh 405 kilometer dari Jeddah menggunakan bus dengan waktu tempuh kurang lebih 5 jam. Perjalanan yang cukup menarik karena menyuguhkan pemandangan yang sedikit berbeda dengan pemandangan yang ada ketika kita bepergian di Indonesia. Sepanjang perjalanan saya disuguhi pemandangan padang-padang bebatuan sepi dan berdebu yang tidak ditumbuhi tetumbuhan dan juga bukit-bukit yang batu yang gersang.
Setelah menaruh barang di kamar hotel, saya sangat antusias untuk bertanya di manakah gerangan letak masjid Nabi. Bersyukur sekali, menurut informasi yang saya dapat, masjid Nabawi hanya berjarak sekitar 100 meter dari hotel. Selanjutnya, dipandu seorang pembimbing dari travel, beberapa orang dari rombongan termasuk saya berangkat ke masjid Nabawi untuk melaksanakan shalat Maghrib.
Diperjalanan menuju Masjid, saya melewati hotel-hotel dan toko-toko yang menjual oleh-oleh maupun toko kelontong. Setelah diperhatikan, semakin dekat dengan masjid, hotel-hotel itu sepertinya semakin bagus dan semakin mahal. Pada hampir semua bangunan hotel ini, bagian bawahnya merupakan toko-toko maupun pusat perbelanjaan.
Tidak sampai lima menit berjalan, saya sudah sampai di gerbang masuk Masjid No.15 yang berada persis di sudut kanan bagian belakang komplek masjid. Setelah melihat sekeliling masjid yang sangat luas, mengingat nomor gerbang ini jadi hal yang wajib jika tidak ingin kebingungan kembali ke hotel karena ada sekitar 40 pintu gerbang di masjid yang luasnya 400.327 m2 dengan kapasitas 1 juta jamaah. Selain gerbang, yang bisa menjadi acuan arah balik ke hotel adalah nomor toilet dan tempat berwudhu, bisa juga menghafal nama hotel yang berdekatan dengan pintu gerbang pada saat kita masuk.
Memasuki teras masjid akan terlihat pemandangan orang-orang berlalu lalang menuju pintu masjid maupun keluar menuju gerbang masjid. Selain itu banyak juga jamaah yang sekedar duduk-duduk di bagian mana saja di teras masjid. Saya lihat ada juga yang masih mengisi shaf-shaf shalat teras masjid, mungkin menunggu shalat selanjutnya. Teras masjid ini juga digunakan sebagai tempat shalat. Teras masjid nabawi merupakan ruangan terbuka yang sangat luas yang dilengkapi dengan 250 buah payung raksasa yang akan melindungi jama’ah dari panas dan hujan.
Walaupun di luar ramai, saya lebih suka menuju ke dalam masjid karena memang penasaran seperti apa bagian dalam masjid Nabawi. Sebelum memasuki masjid, saya menyimpan alas kaki di dalam tas yang sudah saya bawa. Rasa dingin menyentuh telapak kaki begitu menempel di lantai marmer teras masjid yang tidak dilapisi karpet. Jika tidak membawa tas, alas kaki bisa disimpan di rak-rak besar yang terletak tepat sebelum pintu masjid. Masjid juga menyediakan plastik gratis sebagai bungkus alas kaki untuk kemudian disimpan di rak-rak yang terdapat di dalam masjid.
Alhamdulillah tidak berapa lama kemudian untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di atas karpet masjid nabawi yang berwarna merah itu. Karena sangat luas, masjid Nabawi dibagi ke dalam bagian-bagian, setiap bagian terdapat gang-gang untuk berjalan. Di setiap bagian disediakan dispenser-dispenser air zam zam yang didatangkan dari Makkah untuk minum, kursi-kursi untuk jamaah yang ingin duduk, dan rak-rak Al-Quran.
Waktu masih sekitar 45 menit lagi menuju adzan maghrib. Masjid sudah terlihat ramai. ribuan pengunjung dari berbagai negara sudah bersiap di dalam masjid, ada yang shalat, berbincang-bincang, berdzikir, membaca Al-Quran, minum air zam zam, berdiam diri, tidur dan melakukan kegiatan lainnya. Bagaimana rasanya berada di dalam masjid Nabawi untuk pertama kalinya?. MaasyaAllah, yang pasti luar biasa nikmat. Saya tidak menyangka diberikan undangan untuk menjadi tamu Allah di Masjid Nabawi secepat ini.
Saya jadi teringat pernah berbincang dengan guru bahasa arab saya, seorang hafidz berusia 26 tahun yang masih kuliah di LIPIA. Saya bertanya apakah dia sudah pernah pergi ke tanah suci. Beliau menjawab pernah. Lalu beliau bercerita bahwa ada semacam pemilihan hafidz yang akan diberangkatkan umroh gratis oleh seorang ustadz ternama. Dengan izin Allah beliau terpilih dan berangkat ke tanah suci. Lalu saya bercerita kalau saya sudah mendaftar untuk berhaji dan mendapatkan porsi untuk tahun 2019, masih lama lagi saya berangkat. Lalu dia bilang tidak usah menunggu 2019 pak, kalau Allah mengundang pasti bapak berangkat ke tanah suci kapan saja sebelum 2019. Pada waktu itu tidak terbayang bagaimana saya bisa berangkat. Namun, dengan izin Allah saya berangkat juga ke tanah suci, jauh sebelum 2019.
Saya tidak merasa mendapat undangan Allah karena banyaknya amalan saleh yang saya perbuat. Namun, saya yakin ini adalah kehendak Allah bagi saya untuk segera bertaubat, untuk bersegera menyongsong ampunan-Nya.
“Bersegeralah menuju ampunan Tuhanmu dan bersegeralah menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa” (QS: Ali Imran; 133)

February 16, 2016

Comments

Popular posts from this blog

Karya Besar Vincent van Gogh

Yang Muda Berhaji

11 Lagu Wajib Anak Tongkrongan Depan Gang Tahun 90'an