Iman Japati

Hari ini saya pulang ke Cirebon untuk bertemu terakhir kalinya dengan nenek buyut (ibu dari nenek) dari pihak ibu sebelum dikebumikan hari ini di pekuburan terdekat. Nenek buyut saya itu kemungkinan berumur sekitar 85-90 tahun.
Kenapa kemungkinan? Karena tidak ada yang tahu persis kapan nenek buyut saya dilahirkan. Saya bersama kekek menghitung usia nenek buyut dengan perhitungan sederhana: usia ibu saya (55) ditambah perkiraan usia nenek saya ketika mengandung ibu saya (+-18) dan ditambah perkiraan usia ketika nenek buyut saya menikah (+-12) dengan jumlah paling tidak 85 tahun.
Kakek saya bercerita kalau dulu dia dijodohkan dengan nenek pada usia belia (kakek 18 dan nenek 12) namun ada jeda sekitar 4-5 tahun sampai nenek saya mengandung ibu saya karena kakek tidak langsung mencampuri nenek setelah dinikahkan. Kenapa dinikahkan? Ya karena memang dulu mereka dijodohkan begitu saja katanya.
Itulah hebatnya orang jaman dulu, dijodohkan saja awet sampe nenek kakek. Seharusnya pernikahan orang-orang zaman sekarang bisa lebih awet. Akan tetapi, anehnya banyak pernikahan akhir-akhir ini berakhir dengan alasan tidak cocok lagi. Menurut kakek saya, kata-kata cocok ini tidak ada di kamus orang zaman dulu, yang ada adalah menuruti perintah orang tua.
Cerita demi cerita berganti, sampai pada saat kakek saya berkata kalau godaan beribadah itu ternyata bertambah berat ketika usia beranjak senja. Ada saja halangan yang menghadang, mulai dari faktor kesehatan dan faktor-faktor lainnya yang disebabkan usia lanjut. Ini menjadi peringatan kepada diri sendiri dalam memanfaatkan sebaik-baiknya masa muda dan masa sehat untuk beribadah. Tidak ada kata menunggu.
Kakek saya punya istilah-istilah cukup nyentrik untuk mensifati iman yang kita punya: Iman Sejati, Iman Japati dan Iman Pedati. Apa pula itu? Saya kebetulan baru mendengar istilah-istilah itu.
Iman sejati: iman yang sebenar-benarnya iman. Iman yang kokoh dan tak tergoyahkan dalam segala cuaca. Iman yang sama ketika diberi nikmat dan cobaan, kecukupan dan kekurangan, kesakitan dan kesehatan, kebahagiaan dan kesedihan. Pada hakekatnya iman adalah menyelaraskan hati dan perbuatan.
Iman Japati: iman burung Japati. Saya sempat bingung apa itu japati. Japati ternyata adalah merpati. Jika kita ingin didekati oleh burung-burung merpati di sebuah taman bawalah segenggam jagung lalu taburkan, niscaya merpati-merpati akan berlomba-lomba mendekati. Jika kita beriman hanya pada saat-saat ditaburkan nikmat-nikmat dan anugerah saja dan hanya karena imbalan semata mungkin iman kita bisa disifati dengan iman Japati.
Kemudian ada Iman Pedati. Pedati adalah semacam gerobak untuk mengangkut orang dan barang yang biasanya ditarik oleh sapi atau kerbau. Orang dengan iman ini tidak akan tergerak untuk membuktikan imannya dengan perbuatan kecuali jika ada orang lain yang menarik atau membawanya.
Iman manusia ada kalanya bertambah dan berkurang, karenanya kita diajarkan beberapa doa untuk memohon ketetapan hati pada iman dan ketaatan kepada Allah. Doa-doa tersebut di antaranya adalah:
"Allahumma yaa mushorifal quluub, shorrif quluubana 'alaa tho'atika."
(Ya Allah yang mengarahkan hati, arahkan hati-hati kami untuk taat kepada-Mu)
"Ya muqollibal quluub, tsabbit qolbi 'alaa diinika."
(Wahai Dzat yang membolak-balikan hati, tetapkan hatiku dalam memegang teguh agama-Mu)

November 13, 2015

Comments

Popular posts from this blog

Karya Besar Vincent van Gogh

Yang Muda Berhaji

11 Lagu Wajib Anak Tongkrongan Depan Gang Tahun 90'an