PJ20 : Eddie Vedder
Lahir: 23 Desember 1964 di Evanston Illinois, tapi tumbuh di Southern
California. Di usia dua puluhan dia main di beberapa band San Diego seperti
Indian Style dan Bad radio. Pertemanannya dengan mantan drummer Red Hot Chilli
Peppers Jack Iron menjadi jalan baginya untuk direkrut sebuah band yang
kemudian menjadi Pearl Jam.
Apa alat musik pertama kamu? Dimana dan kapan
kamu mulai bermain?
Sebuah ukulele yang hampir rusak. Untuk menjaga supaya senarnya tetap
terpasang saja pemutar senarnya harus
dibungkus dengan lakban. Alat musik pertama saya bisa saja sebuah buku catatan
kecil berwarna hijau yang saya gunakan waktu masih kecil. Saya menulis lagu dan
akan memberikan catatan berupa tanda panah ke atas untuk mengenali nada-nada
yang seharusnya saya nyanyikan lebih tinggi. Ukulele itu saya dapatkan diusia
sekitar sepuluh tahun. Ibu saya biasa pergi ke garage sales atau yard sales.
Membersihkan beberapa mainan dan menaruhnya di bawah pohon. Saya
mendapatkan sebuah track balapan, tapi ada bagian yang hilang. Mungkin karena
itu adalah yard sale jadi mereka memberikan begitu saja ukulele itu, mungkin karena
kasihan.
Apa yang menginspirasi kamu sehingga
berkeinginan untuk bermusik?
Pada dasarnya saya memang suka. Saya sudah mempunyai pemutar piringan
hitam sendiri ketika masih kecil. Dulu saya punya pemutar piringan hitam yang
terbuat dari plastik dan memutar lagu “Puff The Magic Dragon”. Ketika kami
mengunjungi kerabat, saya akan mencari sebuah ruangan dan mendengarkan piringan
hitam yang saya punya. Saya punya tiga
piringan hitam. Lalu saya mulai menyerang koleksi single milik paman dan mulai
mendengarkan musik-musik orang dewasa. Awal mulanya saya mendengarkan “Yellow
Submarine”. Saya ingat saya meminjam atau mencuri single itu dari dia. Dia itu
sepuluh tahun lebih tua dari saya. Saya pada saat itu berumur lima tahun jadi
dia berumur lima belas tahun dan dia mempunyai beberapa piringan hitam yang
keren. Dia memakai jaket tentara.
Pokoknya dia itu keren. Itu kira-kira tahun 1969 atau 1970. Dia memberi saya
piringan hitam, lalu ketika dia pergi bersama teman-temannya, saya akan
mengambil lebih banyak. Saya ingat ibu menelepon saya dan bertanya, “Kamu
mendengarkan Hot Rocks? dan dengan
malu-malu menawab “mmm, ya” ketika itu
saya mendengarkan “Brown Sugar” atau “Mother’s Little Helper”.
Siapa saja yang menjadi pengaruh atau
pahlawan kamu dalam bermusik?
Ketika saya berumur enam tahun, orang tua saya menjalankan sebuah rumah
penampungan. Ayah tiri saya adalah mahasiswa sekolah hukum dan ibu saya bekerja
sebagai pelayan. Mereka tahu kalau mereka bisa mendapatkan bayaran kalau mereka
adalah orang tua asuh dan tinggal bersama sepuluh atau dua belas anak-anak
lainnya, denga usia yang beragam, antara
sepuluh sampai enam belas tahun. Ada seorang anak dari irlandia dan ada juga
seorang anak afrika amerika. Itu di Evanston, Illinois, tapi itu adalah bagian
kota yang buruk sekali. Sepertinya kita salah tempat. Ketika pertama kita
sampai di kota itu kita sangat kesusahan. Orang tua saya berhasil mengatasinya.
Di basement ada sebuah peutar piringan
hitam, dan semua anak mendengarkan Sly and The Family Stone dan James Brown.
Jadilah saya lebih banyak mendengarkan Jackson 5 sampai musik yang lebih berat
seperti Sly dan James brown dan Ottis Redding.
Suatu saat, seorang anak yang berusia sekitar 15 tahun dihadiahi koleksi
piringan hitam yang sangat banyak karena dia menyelamatkan hidup seseorang, kami
benar-benar ketiban rejeki nomplok. Saking banyaknya kami sampai bingung mana
yang harus kami dengarkan lebih dulu. Kami melihat-lihat cover dan
bertanya-tanya “Wow, band seperti apa ya Uriah Heep ini?[tertawa] Setelah itu,
saya mulai mengeluarkan buku catatan dan menulis lagu.
Semasa SMA, saya bekerja di Long’sDrug di Encinitas, di utara San Diego,
dan asisten managernya memberi saya dua buah vinyl
bootleg: The Wo Live at Long Beach dan The Genius of Pete Townsend yang
merupakan demo selanjutnya dari album mereka. Saya mendengar Pete bermain semua
alat musik dan itu telah membukakan fikiran saya.
Konser-konser apa saja yang telah kamu tonton
yang memberi pengaruh dalam bermusik?
Saya menonton Bruce Springsteen dan E Street Band dengan paman saya di
tahun 1977 di Auditorium Theatre di Chicago. Itu adalah pertunjukan pertama yang
saya lihat. Ada sebuah teater kecil yang bernama La Paloma di Encinitas, California.
Itulah musim panas ketika The Last Waltz dirilis. Saya ikut beberapa les gitar.
Saya dan guru saya pergi melihat Rick Danko bermain solo dengan Jack Tempchin,
yang menulis “Peaceful Easy Feeling” dan “Already Gone”untuk Eagles. Rick Danko
bagus sekali bermain akustik tapi dia juga merekam “Stage Fright”
Lalu, semua band yang saya ingin lihat tidak ada yang bermain untuk
semua usia. Jadi saya harus membuat KTP palsu untuk bisa masuk ke konser punk.
Saya ingat ketika itu menonton X, dan itu sangat berarti buat saya. Saya
langsung menuju front row dan Exene Chevenka menitipkan saya sebotol Miller
Lite untuk dipegang ketika dia main. Ya, rasa-rasanya dia memang menitipkan
saya untuk memegangi botol minumnya ketika dia main, bukan menawari saya minum.
Saya juga menonton Pretenders di Golden Hall di San Diego. Disana tidak ada barikade ataupun monitor di antara saya
dan Chrissie Hynde. Orang-orang saling mendorong dan saya pun terdorong ke depan
sampai-sampai tangan saya menyentuh sepatu boot
kiri-nya Chrissie Hynde. Dia pun serta merta langsung langsung menepis. Saya pikir
itu luar biasa sekali. Saya menonton Daydream Nation tour nya Sonic Youth. Saya
tidak tahu apakah itu adalah hal yang paling besar yang terjadi dalam hidup
saya atau apakah mereka telah berbuat kurang ajar kepada saya. [tertawa] Keesokan harinya saya telah
berubah.
Apa kenangan terbaik kamu ketika bermain
dalam konser-konser awal dengan band-band pertama kamu?
Di kelas dua SMA saya main dengan seorang teman, dia kerja di toko kelontong,
dia punya tempat latihan di garasi dan punya ampli yang bagus. Tapi, dia itu
terlalu suka Eagles, pemain keyboard suka Styx dan pemain bass nya suka Cars dan
saya sendiri suka the Who, PiL, dan Springsteen.
Jadilah band kami kedengaran berantakan. Jadi setiap anggota band musti
menyanyikan satu atau dua buah lagu. Kami main di pesta-pesta dan itu sangat
menyebalkan. Band nya memang jelek, dan hal yang paling buruk yang paling tidak
disukai semua adalah ketika tiba giliran saya menyanyi. Akhirnya, untuk
menunjukkan seberapa buruknya itu, mereka bilang ke saya, “Sepertinya band ini
akan bubar” dan dalam seminggu, ada orang lain dengan gitar dan ampli yang
lebih bagus menggantikan posisi saya.
Photos are taken from Pearl Jam Twenty Book/Words are the translation of Pearl Jam Twenty Book/ copyrights belong to the author of the book.
Kembali ke daftar isi
Kembali ke daftar isi
Comments
Post a Comment