Grunge Indonesia, Dimana? Kemana?: Sebuah Pemahaman Dangkal
Saya sangat kesulitan memulai tulisan ini, karena saya hanya mengenal apa yang berkesan grunge ini di indonesia dari famplet-famplet konser musik yang sering mampir di akun fesbuk saya. Famplet-famplet yang biasanya penuh dengan nama-nama band yang menurut saya aneh.
Kalo mau tau sejarah grunge dari negeri asalnya ya kita baca lah sejarahnya grunge itu, bagaimana band-band di seattle terbentuk, bagaimana mereka menjadi mainstream, dan bagaimana mereka bertahan dari literatur-literatur macam Grunge is Dead-nya Prato atau The Strangest Tribe-nya Stephen Tow, atau juga Everybody Loves Our Town nya Mark Yarm, tapi jujur saja buku-buku itu lama kelamaan membosankan untuk dibaca.
Baru-baru ini saya menemukan buku yang berjudul GRUNGE INDONESIA STILL ALIVE; Catatan Seorang Pecundang karangan YY (Klepto Opera/Ballerina's Killer), saya langsung sms pengarangnya nanya apa bukunya masih ada ternyata sudah ludes dan belum dicetak lagi, untung ada blog yang mengcopy isi buku itu mentah-mentah karena memang di buku itu ditulis boleh mengcopy buku itu.
Dimana?
Membicarakan Grunge di indonesia saya bingung mulai dari mana, saya sendiri takut dicap asal omong karena bagi sebagian orang persoalan grunge itu adalah sesuatu yang sangat serius. Benar-benar serius.
Dari buku tersebut ada satu pendapat seorang yang disebut di buku itu seorang aktivis grunge:
"Saya memilih (grunge) cenderung pengaruh ke arah sosial--sosial yang berihwal dari hegemoni komunitas. Ketimbang Budaya, Psikologi, dan apalagi religius. Karena dari hegemoni komunitas, kepluralan dari tiap individu--bila boleh saya mengatakan sebagai manusia berpaham "grunge" (entah pemahaman yang bersetengah-setengah ataupun lebih)--dengan sendirinya, secara tak langsung, membawa energi budaya, religius, dan kejiwaan itu sendiri. Hal itu terjadi, barangkali, lewat proses kesewaktuan dan keseruangan mereka dalam sebuah komunitas itu sendiri; proses yang menjadikannya, tanpa disadari ataupun tidak. Semacam dari alam bawah sadar".--------F. Moses dari band Slip Tongue (Jogja) dan sekaligus drumer dari band Ballerina's Killer.
Dari kutipan diatas ada satu hal yang saya setujui, bahwa grunge bersifat aktifitas sosial yang berasal dari perkumpulan orang-orang yang berbeda-beda dalam suatu komunitas yang secara bersama-sama akan menghasilkan sesuatu yang merupakan gabungan sumbangsih dari masing-masing anggota komunitas tersebut baik secara sadar maupun tidak yang dibentuk dari kesamaan waktu dan ruang.
Di Indonesia, Jelas sekali gerakan sosial ini tidak muncul sebelum grunge menjadi mainstream. Sebelum video klip smell like teen spirit mengudara di MTV, ataupun sebelum Jeremy menjadi Hits.
YY sang penulis membagi gelombang grunge indonesia menjadi empat babak:
- Gelombang Pertama Saat Nevermind Awal 90an
Ini tidak terbantahkan, seperti di tulisan saya terdahulu, bangku SMP saya di tahun 1992 penuh dengan tulisan NIRVANA dan Cobain. Untuk masa ini diwakili suara Robi dari Navicula:
Seperti dikutip YY, Gede Robi Supriyanto, biasa dipanggil Robi Navicula menuturkan tentang gelombang pertama generasi grunge Indonesia ini sebagai berikut:
"Nah, ini buat penggemar grunge lawas yang pernah mengalami dan menikmati masa-masa awal munculnya grunge. Trend global ini mempengaruhi generasi tersebut. Membekas dan berkarat, dibawa seumur hidup, hingga keliang kubur."- Gelombang Kedua, Adalah Gelombang Kemunculan Grunge di Indonesia Yang Paling Hebat.
Terjadi pada 1994-1995 hingga akhir 90an. Saat MTV menayangkan Nirvana-Unplugged in New York dan dilanjutan dengan berita kematian Kurt Cobain yang dramatis.
- Gelombang Ketiga Sekitar Akhir 1990an Sampai Awal 2000an/Mulai Merebaknya Musik-musik Noise.
- Gelombang Keempat Mulai Pertengahan Tahun 2000an
Bagi saya pribadi, saya cukup mengalami dua gelombang pertama, selanjutnya saya sudah berselancar, saya sudah menemukan ombak saya, ombak yang sangat tinggi yang disebut Pearl Jam. Sayapun berselancar dan tidak akan menepi. Tapi, bagi perkembangan komunitas grunge di indonesia, dua gelombang terakhir adalah gelombang yang lebih tinggi yang harus ditaklukan demi eksistensi dengan kegigihan dan kerja keras.
Dengan pengaruh media yang begitu kuat menampilkan sosok Nirvana sebagai grunge dan mengakarnya pemahaman grunge sebagai Nirvana dan menerapkannya sebagai standar, timbul pertanyaan dari beberapa individu dalam komunitas itu sendiri, dimanakah sifat anti kemapanan itu? kemudian timbul lah apa yang disebut "berontak dari faham Nirvanaisme". Munculah media-media komunitas (grunge) dalam bentuk mailing list dan Newsletter yang berani mempertanyakan kesempitan pemahaman pelaku-pelaku dalam komunitas grunge tentang grunge itu sendiri. Sebut saja artikel yang mengupas "how sux the gunge gigs are" di BRAINWASHED Vol 7 tahun 1999 yang mempertanyakan "Grunge Gigs atau Nirvanaisme? " karena gigs-gis musik grunge dipenuhi dengan band-band yang memainkan lagu Nirvana.
Satu bagian buku menampilkan sifat komunitas kedaerahan yang mempunyai ciri dan kepentingan sendiri-sendiri serta tidak adanya pemimpin (tempat/wadah) yang menjadi pusat tumpuan pergerakan yang jauh lebih terarah, fokus, dan terprogram. Hanya dengan program-program yang jelas, dan terarah itulah suatu komunitas akan berkembang sebagaimana yang diharapkan. Menurut penulis, pimpinan tidak hanya berarti dalam skala sempit, yaitu individu atau seseorang, akan tetapi dalam hal ini ia bisa berupa, satu tempat, atau satu wadah yang menaungi segala pusat kegiatan komunitas.
Selanjutnya penulis menampilkan teori-teori yang mengemukakan mengapa grunge dibutuhkan, arti grunge bagi individu dan kominitas dan mengapa grunge diterima sebagai ini dan itu, tapi bagi saya itu tidak penting lagi dan membuat saya pusing menulis pengembangan sub judul artikel yang saya buat ini karena sebagai sumber,bab selanjutnya dalam buku Grunge Indonesia tersebut adalah bab Penutup dan direktori grup-grup musik, komunitas dan sebagainya.
Kemana?
Inilah sub judul yang membuat saya bingung. Saya sempat keluar ke halaman rumah saya untuk merokok dan menyeruput teh poci buatan istri saya sebelum melanjutkan tulisan ini.
Harapan dan cita-cita harus selalu ada.
Saya sendiri menempatkan diri sebagai penikmat musik dari sebuah grup musik yang berasal dari Seattle yang tumbuh di zaman Grunge muncul sebagai budaya pop, Pearl Jam. Saya bergabung dengan komunitas Pearl Jam Indonesia, sebuah komunitas yang menurut saya (jika membaca beberapa bagian buku Grunge Indonesia yang saya sebutkan diatas) merupakan komunitas yang tidak terorganisir, mencari kesenangan yang sama akan musik dari grup band itu, menjaga semangat yang sama untuk melihat penampilan mereka secara live di negeri Indonesia. Sesederhana itu.
Saya juga masih banyak melihat komunitas-komunitas yang mempunyai aktivitas yang sama seperti satu dekade yang lalu, berkerumun menyanyikan anthem-anthem grunge, bersuka cita, dan membubarkan diri untuk kembali dengan aktivitas yang sama, berkerumun, menyanyikan anthem-anthem grunge, bersuka cita dan membubarkan diri. Sepertinya jalan ditempat.
Dari sebuah grup facebook komunitas yang bernama Pearl Jam Indonesia saya berkenalan dengan seorang penggiat musik indie bernama Jimmo Trust, beliau adalah founder dari label indie yang bernama Drexter, dengan kerja kerasnya menampung band-band dari berbagai daerah untuk direkam dan dirilis albumnya secara indi, menampilkan karya-karya orsinil band-band tersebut. Ada dua album yang sempat mampir ke tangan saya yaitu album dari band Mushafear dan Arc Yellow saya beli dengan harga 50 ribu untuk dua album tersebut. Setelah mendengarkan, musik yang ditampilkan band-band tersebut tergolong canggih dan berkualitas. Saya sangat suka dengan lagu berjudul Insulin Setan yang dibawakan oleh Mushafear. Menurut beliau akan dirilis lagi beberapa album dari band-band lainnya.
Individu seperti Jimmo itu yang bisa diharapkan (menurut saya) untuk bisa menjawab kemana arah grunge di indonesia. Saya sendiri berusaha sekeras mungkin berperan walaupun cuma sekedar membeli CD dan kaos dari band-band tersebut. Dukungan dari semua pihak sangat dibutuhkan.
Patut disyukuri, banyak band seperti Cupumanik, Navicula, Respito, Besok Bubar, Alien Sick dan Band-band lain yang saya banyak tidak tau namanya, yang berangkat dari atau setidaknya terpengaruh oleh scene musik yang disebut grunge berusaha keras dalam memberikan warna dan arah grunge dalam bentuk karya nyata, bukan hanya mengakhirkan semangat grunge dalam obrolan pinggir jalan dan mengalir ke dalam saluran air ketika hujan datang.
Silahkan temukan jawaban dari pertanyaan pada sub judul yang kedua saya tersebut secara lantang ataupun tersembunyi, secara individu atau secara berkelompok. Bebas.