Posts

Featured Post

Cawang

Hari masih sore. Jam pulang kantor. Orang-orang memenuhi trotoar menuju stasiun Cawang. Tukang sate kulit, tukang siomay, tukang batagor masih sibuk melayani pelanggan. Seorang ibu muda berlomba dengan pengumuman kedatangan kereta menghabiskan sisa siomay di piringnya. Tukang cilok, tukang bakpau tidak kalah sibuk. Pengemudi ojol berbaris duduk memenuhi pinggiran trotoar, mereka sibuk melihat layar henfon, berharap ada order yang nyangkut. Seorang wanita muda dengan santai menuruni tangga menuju pintu masuk stasiun. Beberapa orang lagi yang tidak sabar mendahului lewat bagian setengah tangga lain, jatah orang-orang naik. Saya dengan sabar berjalan dibelakangnya. Toh di jam-jam sibuk ini kereta pasti banyak yang lewat dan sudah pasti semua penuh. Saya memasuki stasiun dengan menempelkan kartu uang elektronik pada e-gate. Persis beberapa meter tepat di depan gerbang-gerbang masuk elektronik saya selalu mendapat sambutan teriakan dari penunggu toko Roti Maryam. Saya tidak mengindahkan dan

Masjid Nabawi

Masjid Nabawi memiliki sejarah yang panjang. Dimulai dari hanya seluas 1.060 m2 ketika dibangun Rasulullah hingga kini luasnya mencapai 400.327 m2. Seiring dengan pekembangan politik, kota Madinah dan Masjid Nabawi juga telah melewati berbagai masa. Khalifah demi khalifah, sultan demi sultan dan raja demi raja berganti-ganti menguasai kota Madinah. Perluasan Masjid Nabawi tidak dapat terhindarkan dengan terus meningkatnya jumlah umat islam yang berkunjung. Masjid Nabawi saat ini merupakan hasil dari perluasan yang dilakukan oleh Pelayan Dua Tanah Suci, Raja Fahd. Perluasan ini memakan waktu sekitar 10 tahun sejak 1995. Pada tahun 2005, Raja Abdullah bin Abdul Aziz melengkapi Masjid Nabawi dengan 250 payung-payung raksasa yang bisa dututup dan dibuka. Pada tahun 2012, sebuah proyek yang bertujuan untuk menambah daya tampung masjid hingga 2 juta jamaah telah dimulai. Pada kunjungan saya di tahun 2016, pembangunan baru sedikit terlihat di sisi sebelah timur laut yang berdekatan dengan Baq

Kota Nabi

Begitulah resam dunia Tidak kekal selamanya Hati-hati sebelum kena Agar tidak terpedaya... Hmmmm... hmmmmm -- Resam Rindu, P Ramlee Penggalan lirik dari lagu Resam Rindu yang dinyanyikan seniman Melayu P Ramlee di film Bujang Lapuk yang saya putar di pesawat turut mengantarkan saya menuju Kota Madinah. Kota yang akan saya singgahi terlebih dahulu sebelum menjalankan ibadah umroh di kota Makkah. Setelah film itu habis saya tonton, setidaknya masih ada sekitar dua jam lagi sebelum pesawat mendarat di bandara Amir Muhammad bin Abdul Aziz (AMMA). Perjalanan dari Kuala Lumpur menuju Madinah setidaknya memakan waktu delapan setengah jam. Waktu yang cukup lama, sehingga tentu saja membuat semua pemumpang ingin duduk dekat-dekat dengan keluarganya. Istri dengan suaminya, anak dengan ibunya, kakak dengan adiknya atau mungkin juga ada penumpang yang ingin duduk dengan tetangga di kampungnya. Beberapa penumpang memang seharusnya didampingi oleh kerabat seperti pengguna kursi roda dan anak di bawa

Lima Belas Menit

Waktu menunjukkan pukul 17.50 ketika aku menempelkan jari di atas mesin presensi. Sebentar lagi magrib. Dari dalam gedung pandanganku tertuju ke masjid yang terletak persis di sebelah gedung. Aku sempat berfkir untuk menunda pulang sampai setelah magrib dan melanjutkan setelah selesai salat. Tapi apa daya kakiku tak menggubris dan terus melangkah meninggalkan gedung. Aku terus menyusuri jalan di sebelah BKPM menuju Gatot Subroto untuk menaiki jembatan penyebrangan. Aku memang bermaksud menggunakan bus Transjakarta untuk menuju stasiun Cawang. Ketika hendak naik jembatan penyebrangan, azan magrib berkumandang. Hatiku terusik. Terus melangkah menaiki tangga jembatan penyebrangan, aku melewati beberapa pedagang masih menggelar dagangannya begitu saja di lantai jembatan. Beberapa langkah lagi menuju tangga turun halte Transjakarta, suara azan terus memanggilku. Begitu kuat mengusik sanubariku. Entah mengapa aku menghentikan langkahku dan berbalik. Tuhan sungguh sedang mengasihiku. Aku putu

Timbangan

Sudah dua minggu ini ada penghuni baru di kantor. Sebuah timbangan dijital yang selalu mengundang hasrat untuk dinaiki. Kami sengaja menaruhnya tidak jauh dari pintu ruangan supaya terlihat oleh siapa pun yang masuk. Bahkan kami memasang himbauan untuk semua orang agar menaikinya sebelum masuk ke ruangan. Walaupun sering dinaiki bapak-bapak dengan bobot yang tidak ringan - bahkan ada yang lebih dari 100 kilogram -, timbangan ini tidak pernah mengeluh. Dia menerima semuanya. Laki-laki, perempuan, kurus, gemuk, ringan, berat, semuanya ia terima dengan lapang dada. Keluhan justru sering terdengar dari si penimbang berat badan. Hah, kok naik dua kilo! Hah, hanya makan gorengan sepuluh saja kok sampai sekilo setengah naiknya. Duh, minum air lima gelas juga ternyata bikin naik timbangan tho. Lalu mereka membuat janji-janji yang tidak pernah mereka tepati. Kehadiran timbangan dijital di ruangan memberikan kami kebiasaan baru. Semua orang menjadi hobi menimbang berat badannya. Sedikit-sedikit

Tidak Sembahyang Apa Gunanya

Menjelang magrib, jalanan di depan pintu keluar stasiun terlihat tersendat. Walaupun pintu keluar stasiun Lenteng Agung sudah dipagari untuk mencegah penumpang menyebrang sembarangan, tetap saja jalanan macet karena angkot yang mencari penumpang mengetem persis di sebelah jembatan penyebrangan. Suara klakson dari kendaraan-kendaraan yang tersendat membahana menghardik angkot yang sedang ngetem. Ketika saya menginjakkan kaki turun dari jembatan penyebrangan, seorang pemuda lusuh dengan gitar di tangan ikut mengarahkan saya menaiki angkot nomor 129. Di dalam angkot sudah ada beberapa orang penumpang, semuanya perempuan. Tiga orang sepertinya baru pulang kerja dan dua orang lagi masih remaja, mungkin baru pulang sekolah. Tidak terlalu lama setelah saya naik, angkot mulai jalan, sepertinya sang supir sudah puas dengan jumlah penumpangnya. Sang pemuda dengan gitar yang sebelumnya mengarahkan saya untuk naik angkot ternyata ikut naik. Ia duduk di kursi kecil tambahan di pintu keluar angkot d

Mulai Lebih Baik

Tinggal di Depok dan bekerja di Jakarta mau tidak mau menjadikan saya seorang komuter. Pagi sampai sore saya bekerja di Jakarta dan malam sampai pagi hari tinggal di Depok. Saya bersama sekitar 1,4 juta orang lainnya dari bodetabek (data BPS 2014) turut meramaikan jalanan, gedung-gedung perkantoran, mal dan tempat-tempat lainnya di Jakarta. Dulu, waktu tinggal di Depok dari 2009 sampai 2016, KRL menjadi favorit saya untuk berulang-alik karena kantor dekat dengan stasiun Gondangdia, tinggal jalan kaki sekitar lima belas sampai dua puluh menit. Kalau kepepet dan takut telat, saya bisa naik ojek dan babi (bajaj biru) dan sampai kantor hanya dalam lima menit saja. Selama sekitar tujuh tahun itu saya melewati beberapa kali perubahan sistem kereta listrik Jabodetabek. Masa-masa awal saya tinggal di Depok, saya masih merasakan naik Pakuan Expres dan Depok Ekspres. Kedua KRL ini memang tiketnya lumayan mahal (hampir enam kali lipat tiket KRL ekonomi), tapi kelebihan kereta ekspress adalah hany